Sekilas Penegrtian Pembentukan Hukum Dalam Yurisprudensi

Sekilas Pengertian - Bentuk-bentuk hukum positif, yang sampai sekarang diperbincangkan (undang-undang, traktat, kebiasaan) mempunyai suatu sifat yang sejalan, kaidah-kaidah hukum itu bersifat umum, di dalam kaidah itu ditetapkan ketetntuan-ketentuan tentang tingkah-laku orang pada umumnya, setiap orang yang dimaksudkan di dalam kaidah hukum itu haruslah menginsyafi ketentuan tersebut.


Hukum di dalam bentuk-bentuk itu dinamakan, hukum obyektif. Di dalam hukum obyektif itu dirumuskan secara teoritis peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi di dalam pergaulan masyarakat, berikut di tetapkan pula akibat-akibat daripada kejadian peristiwa, yang disusun secara teoritis itu, biasanya kaidah hukum itu dirumuskan sebagai berikut : “inilah yang terjadi, maka itulah akibatnya”
Hukum yang dihubungkan dengan oknum-oknum (atau badan yang bertindak sebagai oknum) dinamakan : hukum subyektif. Hukum subyektif itu menguasai perhubungan yang muncul di antara dua orang  oknum khususnya, yaitu oleh karena mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dinyatakan secara teoritis di dalam hukum obyektif itu. Oleh sebab seorang yang tertentu benar-benar berbuat hal yang dirumuskan secara teoritis di dalam kaidah hukum itu, maka akibat hukum yang terdapat di dalam hukum obyektif di pertalikan dengan  orang yang melakukan perbuatan itu. Negara-negara modern mempunyai alat-alat yang khusus menyelidiki, ataukah perbuatan –perbuatan yang benar terjadi itu sungguh sesuai dengan kaidah hukum yang disusun secara teoritis, alat itu ialah hakim.

Sebagai contoh akan sekedar diketengahkan hal yang di atur dalam ketentuan umum tentang perundang-undangan atau di singkat K.U.T.P, mengenai bagaimana hakim harus melaksanakan  tugasnya : 
  1. Pasal 20 ketentuan umu tentang perundang-undangan (K.U.T.P.) atau Alegemene Bepalingen Van Wetgeving (A.B.), hakim di wajibkan mengadili menurut undang-undang, lalu dilarang kepadanya mempertimbangkan “nilai rohani atau keadilan undang-undang”. Ketentuan ini harus diartikan sebagai berikut : apabila di dalam undnag-undang ditetapkan sesuatu kaidah hukum, maka boleh menyimpang daripada hukum yang dinyatakan kepadanya secara positif.
  2. Pasal 21 ketentuan umum tentang perundang-undangan (K.U.T.P.) dapat dirumuskan sebagai berikut : “Tidak ada seorang hakim yang diperkenankan memberikan keputusan yang bersifat peraturan-umum, disposisi (=penetapan) atau reglemen, jikalau hakim memberikan keputusan di dalam suatu percederaan yang dimajukan kepadanya”. Menetapkan hukum obyektif itu dicadangkan untuk badan-badan lain, kepada hakim hanyalah diserahkan mengenali dan merumuskan hukum yang menguasai nasabah hukum khususnya, sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dirumuskan oleh hakim, sekedar mengenai sengketa yang di majukan kepadanya.
  3. Pasal 22 ketentuan umum tentang perundang-undangan berbunyi : “seorang hakim yang menolak memutuskan perkara, berdalih bahwa undang-undang tidak terang atau kurang lengkap, dan lain-lain, dapat dituntut karena mengingkari hukum. Di situ pembuat undang-undang menyuruh dengan tegas kepada hakim supaya hakim memberikan keputusan di dalam setiap sengketa yang di majukan kepadanya, juga apabila undang-undang kurang terang (hakim wajib menafsirkan undang-undang itu), atau apabila undang-undang itu kurang lengkap (hakim wajib pendapatnya kepada undang-undang itu).
Sekalipun pasal 21 ketentuan umum tentang perundang-undangan itu dengan tegas mengandung larangan tersebut, kepada hakim tidaklah dilarang memperhatikan keputusan-keputusan hakim yang lain, yaitu keputusan di dalam sengketa-sengketa yang sama. Ada kemungkinan di dalam seorang hakim, berdasarkan pasal 22 ketentuan umum tentang perundang-undangan, memberikan suatu tafsiran daripada suatu tafsiran daripada suatu kaidah hukum yang tertentu, yang tepat sekali, ataupun hakim memberikan suatu penjelasan yang menambah kepada wilayah berlakunya kaidah hukum itu, yang merupakan suatu perlengkapan kepada undang-undang yang amat di butuhi oleh masyarakat. Apabila penafsiran itu juga disetujui oleh para hakim yang lain, maka dengan sendirinya mereka itu dapat mempergunakan corak pikiran yang telah dirumuskan oleh hakim yang mula-mula memberikan tafsiran itu.

Artinya, berdasarkan nurani para hakim itu, ada kemungkinan bahwa perumusan hukum oleh seorang hakim yang tertentu dapat juga dipergunakan oleh hakim-hakim yang lain. Akan tetapi, berlainan dengan judge-made law, seorang hakim tidaklah terikat kepada keputusan hakim di dalam hal yang bersamaan, juga ia tidak terikat kepada keputusannya sendiri. Kita hanya dapat mengakui bahwa mungkin muncul suatu tendensi mengenai cara menafsirkan kaidah-kaidah hukum. Tendensi itu mungkin berubah-ubah juga, hal itu dapat dibuktikan di dalam sejarah hukum.

Untuk mengakhiri pandangan kita mengenai yurisprudensi, berfaedahlah apabila kita sebutkan juga dengan cara bagaimana hal itu diatur di dalam sesuatu system perundang-undangan yang modern, yaitu yang terdapat di dalam negeri swiss. Pasal 1 kitab hukum perdata swiss (schwei-zerisches burgerliches gesetzbuch) berbunyi : “undang-undang harus dipergunakan di dalam segala persoalan hukum, untuk itu undang-undang itu adalah tertentu, baik menurut perkataannya, maupun menurut maksudnya. Apabila dari undang-undang itu tak dapat diambil suatu kaidah yang tertentu, maka hakim diwajibkan mempergunakan hukum kebiasaan, jika hukum kebiasaan itu tidak pula memberikan jawaban atau soal, maka hakim haruslah memberikan keputusan sesuai dengan ketentuan yang dapat ia bentuk sendiri, apabila seandainya hakim itu bertindak sebagai pembuat undang-undang. Dalam pada itu hakim harus memperhatikan ajaran yang dibenarkan dan tradisi”.

Apabila kita meninjau pasal 1 kitab swiss tersebut, maka kita dapati lima tingkatan di dalamnya, dengan cara bagaimana hakim dapat melaksanakan tugasnya yaitu :
  1. Undang-undang harus dipergunakan  bila mungkin (baik menurut perkataannya, maupun menurut maksudnya).
  2. Apabila tidak mungkin hakim mempergunakan undang-undang itu, maka hukum kebiasaan dapat dipergunakan (hukum kebiasaan ialah kebiasaan oatau perilaku yang di akui sebagai hukum).
  3. Jikalau dengan mempergujnakan kedua sumber hukum itu, soal yang dimajukan kepadanya belum juga dapat diputusnya, maka hakim dapat bertindak atas tanggung jawab sendiri, akan tetapi ia diharuskan memperhatikan “ajaran-hukum yang dibernarkan”, ialah communis opinion doctorum.
  4. Juga harus ia perhatikan tradisi, yaitu tradisi para hakim, jadi dengan perintah itu hakim diperintahkan memperhatikan yurisprudensi.
  5. Apabila segala alat-alat atau jalan-jalan itu belum juga membeikan bantuan untuk mengupas soal itu, maka hakim dapatlah bertindak, seolah-olah ia sendirilah pembuat undang-undang, di dalam hal itu ia harus memperhatikan pandangannya dan kesadarannya sendiri yang memperkenalkan kepadanya suruhan hukum.
Demikian sekilas pengertian mengenai pembentukan hukum dalam yurisprudensi, semoga dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua guna untuk memperdalam wawasan dalam bidang ilmu hukum.

Referensi Saya : PT. RAJAGRAFARINDO PERSADA
Kamu sedang membaca artikel tentang Sekilas Penegrtian Pembentukan Hukum Dalam Yurisprudensi Silahkan baca artikel Sekilas Pengertian Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Sekilas Penegrtian Pembentukan Hukum Dalam Yurisprudensi Sebagai sumbernya

0 Response to "Sekilas Penegrtian Pembentukan Hukum Dalam Yurisprudensi"

Post a Comment