Sekilas Pengertian Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah

Ide Hukum, Hukum Positif, dan Paham Hukum

Ilmu hukum sebagai ilmu kaidah, merupakan ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah, atau system kaidah-kaidah, dengan dogmatic hukum atau sistematik hukum, sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan jelas tentang hukum sebagai ilmu kaidah. Pada punt 3. Bab V ini akan dijelaskan untuk pemahaman yang lebih dalam tentang ide hukum, hukum positif dan paham-paham hukum, sebagai berikut :


Apabila kita memandang dan menyelidiki masyarakat, yakni sebagai suatu kenyataan, maka dapat ditemui berupa gejala yang dapat diuraikan secara sosiologis dan/atau psikologis (misalnya : perhubungan diantara agama dengan kejahatan; di antara pernikahan dan perceraian, dan sebagainya). Hasil uraian itu semata-mata merupakan gubahan saja, yaitu tentang keadaan yang terdapat di dalam kenyataan social, tanpa memberikan penghargaan kepada gejala-gejala itu (kita tidak mengatakan sesuatu apa-apa tentang betapa jahat kah kejahatan itu ; betapa buruklah perceraian pernikahan itu); kita hanya menggubahkan gejala-gejala itu,  sebagaimana gejala itu telah kita tangkap dengan pancaindera kita dalam dunia kenyataan.

Ide terleyak di dalam dunia-ide, gejala-gejala, yang di dalam dunia-kenyataa, hanya dapat dimengerti sebagai pengabdian kepada ide itu. Segala hasil usaha manusia hanya dapat dimengerti dan dipahamkan dari sudut idenya. Hanya harus di perhatikan bahwa hasil itu berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Juga terhadap kaidah-kaidah harus dipahami idenya.
Menurut pandangan golongan ahli-filsafat Neon Kantiaan,seperti tikohnya ahli filsafat hukum Gustav Radburch, Maka ide-hukum itu tidak lain adalah keadilan saja (Rechtsphilospohie 1950), ide-hukum itu terletak di dalam dunia nilai-nilai yang mutlak.

Mulai dari zaman purbakala,semenjak kmanusia hidup bersama-sama di dalam ikatan-ikatan yang tertentu,kaidah-kaidah hukum menguasai masyarakat. Masyarakat sendiri, yang disusun menurut kehendak hukum positif, dinamakan tertib-hukum. Kita berharap pula supaya hukum positif itu berorientasi atas keadilan sebagai ide-hukum.

Radburch mengatakan hukum (positif) ialah kenyataan yang bermaksud mengabdikan kepada nilai-hukum, kepada ide-hukum ; dan bahwa hukum (positif) merupakan kenyataan, y ang mempunyai pengertian akan mengabdi keadilan. Jadi, apabila dipelajari sumber-sumber hukum positif (yaitu : sumber di dalam arti Zahiri), maka kita jumpai bentuk-bentuk yang berupa hukum, yang bermaksud mengabdi kepada keadilan. Hal itu tidak berarti bahwa seluruh hukum positif benar-benar berorientasi kepada ide-hukum itu ; karena bukankah,tadi dikatakan bahwa hukum positif bermaksud mengabdi kepada ide-hukum ; perumusan itu mengandung kemungkinan bahwa akan terdapat jenis-jenis hukum positif juga yang tidak memenuhi maksud itu. Akan tetapi kaidah hukum positif itu yang tidak berorientasi kepada ide-hukum tak dapat di[andang sebagai lambangnya.. kaidah-kaidah hukum itu harus dinyatakan dengan bentuk-bentuk zahiri, sehingga bentuk itu dapat ditangkap dengan pancaindera kita; tanda-tanda itu tidaklah identic dengan kaidah itu malahan tanda itu hanyalah lambing kaidah itu.

Berkaitan dengan yang diatas, kita menemui suatu sifat baru, yakni : pendapat kita mengenai hukum.dengan perkataan itu dimaksudkan : inti pengertian yang menetukan bahwa kaidah-kaidah yang tertentu adalah kaidah hukum, dan bahwa kaidah-kaidah lain bukanlah kaidah hukum,melainkan misalnya kaidah kesusilaan. Pengertian itu dapat kita namakan : “paham-paham” (bahasa jerman : der rechtbegrif). Jadi syarat itu dapat dirumuskan sebagai berikut : lambing hukum, yang dapat ditangkap oleh pancaindera harus pula sesuai dengan paham-hukum itu.

Rudolf Von Jhering mengatakan : hukum ialah penjamin syarat-syarat penghidupan didalam masyarakat : syarat-syarat itu berbentuk memaksa. Von jhering yang mementingkanmaksud-maksud hukum yang terletak di dalam  masyarakat. Terhadap pernyataan itu, oleh Rudolf Stammler (handworterbuch der staatswissenschaft, 4e Auflage; “Recht”) dikemukakan bahwa :
  1. Masyarakat hanya dimungkinkan berlangsung oleh hukum.
  2. Baik di dalam hukum, maupun di dalam kesewenangan-wenangan terdapat pemaksaan.
  3. Penjamin itu tidak berarti sesuatu yang mengenai isi hukum yang hendak dipaksakan itu.
Oleh Rudolf Stammler dihubungkan perbedaan antara hukum dengan kesewenang-wenangan itu, kepada kekuasaan mengikat, baik secara obyektif maupun secara subyektif. Sesuatu peraturan yang berdasarkan kesewenang-wenangan saja, mengikat oleh karena kehendak pihak yang menentukannya; akan tetapi pihak yang menetapkan peraturan itu dapat pula menentukan bahwa ia sendiri  tidak takluk kepada peraturan itu. Sifat kesewenang-wenangan itu ternyata pula oleh karena pihak yang menetukan peraturan itu dapat mencabut kembali peraturannya, yaitu dengan sewenang-wenang saja.

Pendapat yang sejajar dengan ini dikemukakan pula oleh Lemaire, di dalam karangannya “Het Recht in Indonesia”, di mana ia mengatakan bahwa hukum tidak bersifat menindas, akan tetapi hendak menyelaraskan kebebasan oknum-oknum sehingga terbentuk suatu tata-tertib yang harmonis; juga pencipta tata-tertib itu (yakni : alat-alat yang turut mewujudkan hukum), adalah mengabdi di bawah peraturan-peraturan hukum itu. 

Berdasarkan pandangan di atas, maka sebagai sumber-sumber hukum (di dalam arti Zahiri) ialah :
  • Undang-undang
  • Traktat
  • Perilaku manusia
  • Jurisprudensi, yang meliputi
  1. Penggunaan langsung kaidah-kaidah yang terwujud di dalam a,b, atau c
  2. Menemukan hukum (penafsiran kaidah-kaidah itu; analogi dan determinasi; pencipta kaidah-kaidah berdasarkan pandangan bahwa hukum ialah suatu system yang terbuka).

Kebiasaan, atau Hukum Kebiasaan

Seperti telah kita lihat kebiasaan dapat dipandang sebagai perwujudan hukum, oleh sebab itu kita mempergunakan istilah : hukum kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaanitu dapat dikategorikan sebagai :
  1. Kebiasaan umum (kebiasan yang diperhatikan oleh para anggota suatu masyarakat pada umumnya; di Indonesia contoh-contoh terdapat di dalam hukum adat Indonesia pada umumnya),
  2. Kebiasaan setempat (kebiasaan yang terdapat di dalam suatu wilayah tertentu, atau yang diperhatikan oleh suatu golongan manusia tertentu, misalnya hukum kekeluargaan Indonesia pada suku Minangkabau, Tapanuli, Ambon dan sebagainya.
  3. Kebiasaan khusu (yang diperhatikan di dalam golongan-golongan orang tertentu; misalnya kebiasaan-kebiasaan kaum pedagang, petani dan sebagainya).

Syarat-syarat yang dapat membuktikan bahwa perilaku itu telah menjadi hukum kebiasaan adalah :
  1. Hendaknya diperhatikan oleh yang berkepentingan pada umumnya. Kepada syarat itu seringkali dihubungkan juga, supaya kebiasaan itu diperhatikan selama suatu periode yang agak lama.
  2. Yang berkepentingan harus sadar bahwa kelakuan mereka itu (kebiasaan itu) adalah sesuai dengan kehendak hukum; yang berkepentingan harus menginsyafi bahwa mereka itu terikatkepada kebiasaan itu, karena hukum.

Apabila kita mengakui bahwa kebiasan adalah sederajat dengan undang-undang, maka ada kemungkinan bahwa diantara kedua jenis perwujudan itu akan terdapat perikatan. Oleh ilmu hukum dikenal adanya :
  1. Consuetudo praeter legem (kebiasaan yang menambah atau menjelaskan undang-undang)
  2. Consuetudo contra legem (kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang). Kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang, dapatlah mengakibatkan bahwa undang-undang dihapuskan (consuetudo obrogatoria), ataupun bahwa undang-undang itu tidak diperhatikan lagi,oleh karena hanya kebiasaan yang bertentangan itu yang diperhatikan (desuetude).

Demikian sekilas pengertian mengenai ilmu hukum sebagai ilmu kaidah, semoga dapat berguna dan bermanfaat guna memperdalam wawasan dalam bidang ilmu hukum.
Kamu sedang membaca artikel tentang Sekilas Pengertian Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah Silahkan baca artikel Sekilas Pengertian Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Sekilas Pengertian Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah Sebagai sumbernya

0 Response to "Sekilas Pengertian Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kaidah"

Post a Comment